Kamis, 20 Januari 2011

Kasus Gayus Tambunan

Tanggal 19 Januari 2011 kemarin, merupakan sidang putusan hukuman atas kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Dalam hasil sidang tersebut Gayus di dakwa hukuman penjajara 7 Tahun penjara, dalam sidangnya tersebut, Gayus juga menyampaikan penyertaan SATGAS pemberantasan mafia hukum ikut mengarahkan kasus hukumnya. Pengamat dari LIPI berpendapat pernyataan yang di lontarkan oleh gayus merupakan usaha untuk mengalihkan isu dari kasus tersebut. Selain itu Gayus juga mengeluarkan pernyataan, bahwa salah seorang agen CIA terlibat dalam pembuatan paspor palsu Gayus, yang ia gunakan untuk plesiran ke luar negeri. Dalam kasus ini, kedubes AS di gandeng oleh polri untuk menyelidiki kasus ini. Guayus juga menyebutkan perusahaan yang mungkin terlibat dalam kasusnya, dalam hal ini polri akan memeriksa seluruh perusahaan di bantu dengan ditjen pajak. (sumber liputan 6)

Dari kasus tersebut, saya berpendapat bahwa seluruh badan hukum di indonesia ataupun perusahaan seharusnya jujur dalam menjalankan pekerjaanya ataupun tugasnya. Jangan hanya karena silau akan uang atau harta, maka hukum dapat di beli dengan seenaknya.
Dengan adanya kejujuran, maka negara kita indonesia ini akan damai dan tidak ada lagi mafia-mafia hukum yang berkeliaran.

Semoga dengan adanya kasus ini, menjadi pelajaran bagi kita semua.

Minggu, 09 Januari 2011

Tugas Sosiologi & Politik Ibu MASIBANGAN S. HERNAWATI

Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Benarkah demikian ?
Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993; Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga, birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.
Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di dunia barat birokrasi telah berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada abad pertengahan dan seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di dukung oleh masyarakat industri. Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung berhubungan dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita menjadi masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model birokrasi rasional di dalamnya. Namun demikian, bagi masyarakat yang sedang berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy (1998:7) menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.
Menurut Islamy (1998:7), terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat rakyat? Alat penguasa? Ataukah penguasa itu sendiri?
Guna merespon kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented).
Menurut Johnson (1991:16) istilah professional dan professionalisasi, Pertama, dipergunakan untuk menunjuk pada perubahan besar dalam struktur pekerjaan, dengan jumlah pekerjaan-pekerjaan professional, atau bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white collar jobs) yang meningkat secara relative dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya,baik sebagai akibat perluasan kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun sebagai akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan dalam arti yang hampir sama dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan adanya pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu. Ketiga, memandang professionalisasi sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit yang menunjuk pada suatu pekerjaan dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip professional yang merupakan unsur-unsur pokok profesionalisme. Keempat, menunjuk pada suatu proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan dengan tahap-tahap perubahan organisatoris yang dapat diramalkan menuju bentuk akhir profesionalisme.
Dengan demikian, manajemen strategi pelayanan publik yang profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis. Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan praktek-praktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost economy) daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi.
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi garis terdepan (street level bureaucracy) yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Strategi manajemen birokrasi profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain: Pertama, perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan. Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes. Ketiga, tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya. Keempat, staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral. Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah. Keenam, mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi. Ketujuh, birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan. Kedelapan, rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotism.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik ini telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya dengan nama “managerialism” oleh Pollitt (1990), “new public management” oleh Hood (1991), “market based public administration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992), dan “ entrepreneurial government/ Reinventing Government” oleh Osborn dan Gaebler (1992). Apapun label yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process” menuju ke “product”, atau dari “ rule governance” menuju ke “goal governance”.
Tetapi perlu diingat, bahwa dalam perdebatan teoritis dari kedua kutub orientasi ini, baik rule governance maupun goal governance memiliki segi kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Kelemahan rule governance, misalnya, dianggap mempunyai penerapan peraturan yang kaku, bercirikan struktural hierarkhikal, pengawasan yang ketat, bersifat impersonal,dan sebagainya, sehingga menjadikan birokrasi sebagai “mesin rasional” yang menciptakan perilaku aparat yang formal dan robotic yang kurang peka terhadap terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Akibat dari struktur birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifatnya dis-fungsional, in-efesiensi dan bahkan konflik dengan masyarakat yang dilayani karena sifat impersonal aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Demikian pula, aturan-aturan (rules) sebagai sarana untuk mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri. Segi kelebihannya, menunjukkan semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh birokrasi publik.
Adapun kelebihan goal governance yaitu meletakkan fokus utamanya pada “the achievement of result and taking individual responsibility for their achievement”.Tetapi ia juga memiliki kelemahan apabila prinsip-prinsip manajemen baru itu hendak diterapkan di sektor publik. Misalnya, sampai sekarang masih terjadi diskursus yang seru terhadap 10 prinsip dalam entrepreneurial government-nya Osborn dan Gaebler (1992) yang mereka kemukakan dalam uraian yang sangat provokatif yaitu Reinventing Government. Konsep pemerintahan entrepreneur Osborn dan Gaebler yang mencoba menemukan nilai-nilai baru (re-inventing) di bidang pemerintahan ternyata menurut Painter (1994) mempunyai kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kritik Painter terhadap konsep pemerintahan entrepreneur adalah bahwa ia terlalu bias pada “ new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance. Oleh karena itu, Painter menyebutnya bukannya reinventing government melainkan pemerintahan yang sudah dalam keadaan tertinggal (abandoning government), karena Osborn dan Gaebler sebenarnya telah menghapuskan atau setidak-tidaknya telah membelotkan nilai-nilai pemerintahan. Padahal kedua nilai tersebut (lama dan baru) bisa disatu padukan. Kritik yang lain, misalnya dari Pollitt (dalam Hughes, 1994) yang meragukan penerapan prinsip-prinsip entrepreneurship di sektor publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang melemahkan konsep tersebut dengan mengatakan : “ First, the provider/consumer transactions in the public services tend to be notably more complex than those faced by the costumer in a normal market; and second, public service consumers are never merely consumers, they are always citizens too, and they has a set of unique implications for the transactions”( Pertama, transaksi, provider/ konsumer dalam pelayanan publik cenderung berada pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek daripada berhadapan dengan pelanggan di pasar yang normal; Kedua, pengguna pelayanan publik tidak hanya konsumer saja, mereka juga termasuk warga negara lain, dan mereka adalah bagian yang unik dari implikasi suatu transaksi).
Sehubungan dengan itu, menurut Hughes (1994) diperlukan adanya repositioning dengan menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi negara dengan mensinergikan orientasi rule governance dan goal governance. Hughes mengatakan : …..the best parts of the old model professionalism, impartiality, high ethical standards, the absence of corruption can be maintained, along with the improved performance a managerial model premises” (bagian terbaik dari model profesionalisme lama adalah sikap yang adil, standard etika yang tinggi, tingkat korupsi yang dapat dipantau, bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran model manajerialnya).
Memahami perdebatan persoalan tatanan dan pertikaian (order and conflict) seperti diatas, hingga kinipun para teoritisi sosiologi-politik sering membandingkannya dengan perdebatan hubungan antara struktur dengan tindakan. Berkenaan dengan persoalan ini, Sharrock dan Watson (1988) mengemukakan sebagai berikut : “What is the relationship between structure and agency? The two seem inimical: structure apparently means givenness, constraint, stability, whilst agency seemingly implies creativity, autonomy, fluidity. How, then, do structure and agency relate in society: is it primarily one or the other? Does emphasis on structure marginalize or eliminate agency, does emphasis on agency dispose of structure?”.
Tampaknya, hubungan antara struktur dengan tindakan cenderung digambarkan sebagai bersifat antagonistik. Struktur sering digambarkan sebagai suatu ketentuan, kekuatan penghambat, dan kestabilan. Sedangkan tindakan cenderung menampakkan daya cipta, otonomi, dan ketidak stabilan. Karena itu, penting untuk diajukan pertanyaan. Manakah yang lebih mendasar, struktur atau tindakan? Benarkan bila penekanan diberikan kepada struktur berarti menghilangkan atau meminggirkan tindakan? Sebaliknya, benarkan bila penekanan diberikan kepada tindakan berarti membuang struktur begitu saja? Benarkah bahwa tertib yang berlangsung dalam birokrasi selalu bersifat impersonal? Benarkan bahwa para pejabat birokrasi hanya tunduk kepada suatu tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakannya? Mengapa birokrasi cenderung bertindak berbeda pada setting ruang dan waktu yang berbeda? apakah perubahan yang dilakukan oleh birokrasi sesuai dengan fungsi reformasi yang dikehendaki oleh masyarakat banyak, ataukah sekedar formalitas sebagai kewajiban struktural yang cenderung statusquo; atau hanya sebagai mesin alat penggerak untuk memanipulasi dan memobilisasi rakyat agar tunduk pada kekuasaan birokrasi (machine bureaucracy)?.
Pertanyaan-pertanyaan ini antara lain dapat dijawab melalui pandangan kelompok: aliran strukturalis, aliran strukural-konflik, dan aliran strukturasi.
Aliran strukturalis (Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpandangan bahwa kekuasaan (birokrasi) adalah sebagai fasilitas atau sumber sosial yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi sosial dari kekuasaan adalah untuk memelihara ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Kekuasaan sebagai atribut utama dalam sistem sosial berwujud kepemimpinan yang bertanggung jawab, tetapi juga berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat bagi semua golongan masyarakat. Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar itulah, menurut pandangan strukturalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah selama masyarakat memang menghendakinya. Kritik terhadap hampiran ini adalah karena kaum strukturalis terlalu menitik beratkan pada struktur yang statis (statusquo) dengan mengabaikan proses perubahan sosial yang terjadi, serta ketidak mampuannya mengatasi konflik secara efektif ( Cohen, 1968; Gouldner, 1970; Abrahamson, 1978). Implikasi hampiran strukturalis ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan tindakan birokrasi merupakan gerakan moral masyarakat yang menghendaki adanya suatu perubahan paradigma kinerja birokrasi.
Berbeda halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik (Gramsci, Baran, Coser, dalam Turner, 1974) ; kelompok yang satu ini justru melihat tindakan birokrasi sebagai suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh dominasi politik, eksploitasi sosial, dan perkembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai dengan suasana paksaan (coercion) yang menimbulkan intimidasi, propaganda dan indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai dengan supremasi golongan/ ras/ budaya yang menyebabkan suasana hegemoni. Sedangkan dominasi ekonomi ditandai oleh eksploitasi akibat ketimpangan distribusi alat produksi antara kepentingan kelas borjuasi dengan proletar. Implikasi pandangan aliran strukturalis konflik ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan paradigma yang dilakukan oleh birokrasi justru akan menimbulkan konflik baru (new conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Adapun menurut aliran strukturasi Giddens (dalam Baert, 1998) mencoba mencari hubungan antara struktur dan aktor. Kelompok strukturasionis ini tidak memandang struktur dan aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga menghasilkan dualisme struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan secara dialektis dan kontinuum sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor atau agen menurut pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam meng konstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Setiap tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi orang terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas tersebut. Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia (constraining) tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada manusia. Dualitas struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus (the janus face of power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting, terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur. Dualitas struktur menganalisis bagaimana tindakan-tindakan aktor sosial di produksi dan juga bagaimana struktur secara terus menerus di reproduksi dalam kegiatan-kegiatan si aktor sosial sepanjang waktu dan ruang yang sangat luas. Teori strukturasi ini tidak luput dari kritik. Beberapa kritik yang sering dikemukakan terhadap aliran strukturasi antara lain : (a) masih sedikitnya bukti empirik yang bisa memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor atau agen merubah struktur, tetapi justru struktur merubah aktor atau agen. (b) Giddens dipandang gagal menjelaskan fenomena konflik; (c) diragukan keaslian, kedalaman, kejelasan analitik dan konsistensi internalnya (fallacy of perspectivism), karena berasal dari pinjaman berbagai teori lain; (d) dan dicurigai karena pendirian politiknya cenderung mendukung statusquo.
Implikasi hampiran strukturasi ini terhadap fenomena birokrasi profesional diharapkan akan berdampak positif dalam upaya menciptakan kejelasan pembagian konsep ruang publik (public sphere) dan ruang pribadi (private sphere) dalam pembaharuan perubahan orientasi tindakan birokrasi.
Jawaban teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan untuk memancing wacana dan emosi para pembaca apakah strategi manajemen birokrasi profesional masih dimungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak di Negara Republik Indonesia ini? Jika ya, maka akan lahir putera-puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik (best for the best) seperti yang kita harapkan selama ini.
Dengan tanpa mengurangi rasa optimisme para pembaca penulis akan mengutip salah satu pernyataan dari Terence J. Johnson (1991) untuk bahan renungan dan instropeksi diri kita bersama. Beliau mengatakan sebagai berikut: Benarkah? Sangat boleh jadi,…… pada masa revolusi industri di Eropa, profesionalisme yang demikian itu sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan fenomena historis yang sangat konteksual ini sebagai suatu paradigma untuk masa kini nampaknya tidak lebih dari sebuah mitos. Profesionalisme sejati telah memudar, dan kaum professional seperti yang dapat kita saksikan telah bertingkah laku money-mindedness. Kemadirian mereka pun semakin terdesak oleh birokratisasi pelayanan dan oleh berbagai pengawasan. Betapa lembaga profesionalisme telah mengalami banyak kemerosotan peran dalam masyarakat. Demikian, kata Johnson.
Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa untuk mengatasi persoalan kemunduran birokrasi dalam hal pelayanan publik sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform); (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis, dst.

merujuk pada :
http://pustakaonline.wordpress.com/2008/03/22/pentingnya-manajemen-birokrasi-profesional-untuk-mengatasi-kemunduran-birokrasi-dalam-pelayanan-publik/

Jumat, 03 Desember 2010

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Sepasang pria dan wanita yang memilih untuk menikah dan berumah tangga, mereka harus dapat mengerti apa tujuan mereka untuk mengambil keputusan tersebut. karena pada hakikatnya, seseorang yang telah mengambil keputusan untuk bemenikah dan berumah tangga adalah menjadi keluarga yang harmonis, menghormati pasangan masing-masing, mendidik anak-anak mereka dengan baik.

Tetapi akhir-akhir ini, banyak media massa yang memberitakan kekerasan dalam rumah tangga. Yang umumnya dilakukan oleh seorang suami pada istrinya, contoh kasus yang sempat marak dibicarakan adalah kasus KDRT yang dialami oleh Lisa, seorang ibu rumah tangga yang wajahnya menjadi rusak akibat disiram air keras oleh suamnya. Seorang suami yang seharusnya menjadi imam yang baik dalam rumah tangganya, tetapi malah menyiksa istrinya sendiri.

Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, sekitar 24 juta perempuan di Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tetapi jumlah yang pasti belum diperoleh. Di Indonesia, pada tahun 1998 jumlah kekerasan yang terjadi pada istri yang tidak bekerja adalah 39,7 % dan 35,7 % pada istri yang bekerja.

KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada penyebabnya. Di negara kita, Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:

1) Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.

2) Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.

3) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

4) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

5) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.

6) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

7) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

8) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

9) Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.

Dalam menghadapi masalah ini pemerintah telah menetapkan UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan adanya UU ini, maka orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga akan di kenakan sanksi pidana.

Selasa, 23 November 2010

Tugas ke 5 MASIBANGAN S. HERNAWATI (Sos Pol)

Struktur Politik

Sistem politik demokrasi berdasarkan Pacasila
1. Kedaulatan rakyat
2. Pelaksanaan kedaulatan melalui sistem perwakilan
3. Didalam lembaa perwakilan selalu diusahakan permusyawaratan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan

Suprastruktur dan Infrastruktur Politik di Indonesia
* Suprastruktur politik di Indonesia
a. Lembaga pelaksana fungsi pembuatan kebijakan umum/legislatif :
1. Fungsi Legislasi
2. Fungsi pengawasan/kontrol
3. Fungsi anggaran
b. Lembaga pelaksana fungsi penerapan kebijakan/eksekutif
c. Lembaga fungsi pengawasan pelaksana kebijakan/yudikatif

Mahkamah Agung dan Makhamah Konstitusi
a. Wewenang MA
1. Mengadili pada tingkat kasasi
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang
undang
3. Melaksanakan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang
b. Wewenang MK
1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD
3. Memutuskan pembubaran partai politik
4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu

Infrastruktur Politik di Indonesia
a. Lembaga swadaya masyarakat (civil society)
1. Community base organization seperti kelompok arisan, simpan pinjam
2. Civics group contoh NU
b. Partai Politik
Fungsi :
1. Pendidikan politik
2. Penciptaan iklim yang kondusif serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa
untuk menyejahterakan masyarakat
3. Penyerap. Panghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara
konstitutional
4. Partisipasi politik warga negara
5. Rekrutman politik dalam proses pengisian jabatan politik

Merujuk pada
http://www.scribd.com/doc/35298745/Sistem-Politik-Indonesia

Tugas ke 4 MASIBANGAN S. HERNAWATI (Sos Pol)

A. Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola
sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan
melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-sikap dan
nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai mereka dewasa dan orang-
orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.
Hal ini dapat dilakukan melalui sarana sbb :
1. Keluarga
Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang
paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan.Bagi
anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti
keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan
kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk
melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara
aktif dalam sistem politik sesudah dewasa.
2. Sekolah
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum
pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-
kegiatan guru. Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan
yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia
juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan
permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan
terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan
tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
3. Pertemanan/Pergaulan
Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi politik
selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa.

B. Fungsi Rekrutmen Politik

Rekrutmen Politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun politik. Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur-prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang rekrut/diseleksi adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan atau fungsi politik.

Setiap partai politik memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pola perekrutan anggota partai disesuaikan dengan sistem politik yang dianutnya. Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi administratif, penelitian khusus (litsus) yaitu menyangkut kesetiaan pada ideologi negara.

C. Stratifikasi Politik
Stratifikasi Politik di Indonesia terdiri dari :
1. Tingkat kebijakan puncak meliputi kebijakan tertinggi yang ruang lingkupnya
menyeluruh secara nasional. misal : Penetapan UUD.
2. Tingkat kebijakan umum merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan
puncak yang ruang lingkupnya juga menyeluruh nasional. Penentu tingkat ini
adalah presiden.
3. Tingkat kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama
pemerintah sebagai penjabaran terhadap kebijakan umum guna merumuskan
strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang utama tersebut.
4. Tingkat kebijakan teknis meliputi penggarisan terhadap suatu sektor bidang
utama. Penentuannya adalah pimpinan eselon pertama departemen pemerintahan
maupun pimpinan lembaga-lembaga nondepartemen.
5. Tingkat kebijakan di daerah meliputi kebijakan mengenai pelaksanaan
pemerintah pusat di daerah maupun kebijakan pemerintah daerah.
Penentunya adalah gubernur dan produknya adalah keputusan bupati/walikota
untuk kabupaten/kota madya.

Merujuk pada

http://www.scribd.com/doc/18750942/PENTINGNYA-SOSIALISASI-POLITIK-DALAM-PENGEMBANGAN-BUDAYA-POLITIK

http://massofa.wordpress.com/2008/11/17/fungsi-artikulasi-kepentingan/

http://www.docstoc.com/docs/14293200/makalah-hukum-dan-sistem-politik

Tugas ke 3 MASIBANGAN S. HERNAWATI (Sos Pol)

Sistem Politik Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia
menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan.
Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara
Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat
menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar
di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat
(RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk
pemerintahan republik.
Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah
terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep
Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.
Undang-undang Dasar 1945
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur
kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan
antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga mengatur
hak dan kewajiban warga negara.
Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga
tertinggi negara dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
seorang wakil presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh
seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang
bupati/walikota.
Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
(MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada
di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan pengadilan, pengawasan, pengaturan, memberi
nasehat, dan fungsi adminsitrasi.
Saat ini UUD 1945 dalam proses amandemen, yang telah memasuki tahap amandemen
keempat. Amandemen konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap tugas dan
hubungan lembaga-lembaga negara.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Fungsi pokok MPR selaku lembaga tertinggi negara adalah menyusun konstitusi negara;
mengangkat dan memberhentikan presiden/wakil presiden; dan menyusun Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN).
Fungsi pokok MPR yang disebut di atas dapat berubah bergantung pada proses amandemen
UUD 1945 yang sedang berlangsung.
Jumlah anggota MPR adalah 700 orang, yang terdiri atas 500 anggota DPR dan 200 anggota
Utusan Golongan dan Utusan Daerah, dengan masa jabatan lima tahun.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Selaku lembaga legislatif, DPR berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan dan bersama-sama
dengan pemerintah menyusun Undang-undang.
Jumlah anggota DPR adalah 500 orang, yang dipilih melalui Pemilihan Umum setiap lima tahun
sekali.
Presiden/Wakil Presiden
Presiden Republik Indonesia memegang pemerintahan menurut UUD 1945 dan dalam
melaksanakan kewajibannya, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam sistem
politik Indonesia, Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang
kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Presiden juga berkedudukan selaku mandataris MPR, yang berkewajiban menjalankan Garisgaris
Besar Haluan Negara yang ditetapkan MPR.
Presiden mengangkat menteri-menteri dan kepala lembaga non departemen (TNI/Polri/Jaksa
Agung) setingkat menteri untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
Dalam UUD 1945 (versi sebelum amandemen) disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh MPR dengan suara yang terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Mahkmah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah pelaksana fungsi yudikatif, yang kedudukannya sejajar dengan
lembaga tinggi negara lainnya. MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam
menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski penunjukan para hakim agung
dilakukan Presiden.
Lembaga Tinggi Negara Lainnya
Lembaga tinggi negara lainnya adalah Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA).
Fungsi utama BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan pemerintah. Temuan-temuan BPK
dilaporkan ke DPR, selaku badan yang menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN).
DPA berfungsi untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Presiden yang
berkaitan dengan penyelenggaraan negara, termasuk dalam masalah politik, ekonomi, social
budaya, dan militer. DPA juga dapat memberi nasehat atau saran atau rekomendasi terhadap
masalah yang berkaitan dengan kepentingan negara.
Anggota DPA diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden untuk masa bakti lima tahun.
Jumlah anggota DPA adalah 45 orang.
Pemerintah Daerah
Di tingkat daerah, sebuah provinsi dikepalai oleh seorang gubernur sedangkan
kabupaten/kotamadya dikepalai oleh seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 30 provinsi dan
360 kabupaten/kotamadya.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal
1 Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke Kabupaten, sehingga
hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi.
Hubungan lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama halnya dengan
hubungan antarlembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi
jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan Gubernur menyusun
peraturan daerah. Lembaga yudikatif di tingkat daerah diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri.

Merujuk pada www.abc.net.au/ra/federasi/tema1/indon_pol_chart.pdf

Kamis, 07 Oktober 2010

Tugas ke 2 MASIBANGAN S. HERNAWATI (Sos Pol)

1. Stratifikasi sosial dan kelas sosial adalah dua hal yang berbeda, tetapi
seringkali dipergunakan secara bergantian sehingga dalam beberapa bagian menjadi
rancu. Stratifikasi sosial sebenarnya lebih merujuk pada pembagian sekelompok
orang ke dalam tingkatan-tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal.
Jadi apabila kita berbicara tentang stratifikasi sosial, kita akan berbicara
tentang posisi yang tidak sederajat antar-orang atau antar-kelompok dalam
masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan
persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.

Sedangkan istilah kelas sosial lebih sempit dari itu. Istilah kelas lebih merujuk
pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial.
Orang-orang yang berasal dari suatu kelas sosial pada umumnya memiliki orientasi
politik, nilai dan budaya, sikap, dan perilaku sosial yang –pada umumnya– sama.

Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam banyak hal memiliki karakteristik yang
berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam penampilan fisik mereka,
seperti cara berpakaian dan saara transportasi yang dipergunakan, atau bahkan
mereknya. Tetapi, antarmereka biasanya juga berbeda ideologi politik, nilai yang
dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya.
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat dari perbedaan
besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau setiap bulannya.

Merujuk pada http://gtiburtius.blogspot.com/2010/06/stratifikasi-sosial.html

2.