Selasa, 13 Oktober 2009

Bank dan Lembaga Keuangan 1

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DEREGULASI BANK INDONESIA

Paket Kebijakan 1 Juni 1983

Deregulasi perbankkan ini berkaitan dengan sektor perkreditan dan pengerahan dana. Dari sisi moneter, inti dari kebijakan itu adalah :

(1)Kebebasan pada bank pemerintah
untuk menetapkan suku bunga deposito. Sebelumnya, suku bunga deposito ini
masih diatur oleh Bank Indonesia.

(2) Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya
digunakan sebagai salah satu instrumen intervensi langsung, dihapuskan.

Sebagai gantinya, pemerintah menggunakan instrumen tidak langsung yaitu penentuan
cadangan wajib, operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan moral suasion.

Hasilnya, selain telah meningkatkan simpanan masyarakat di bank, Paket Juni 1983
(PAKJUN 83) telah memberikan kontribusi positif terhadap kestabilan moneter, yang
sejak saat itu pengendalian moneter lebih mengutamakan penggunaan instrumen
tidak langsung.


Dari segi pengendalian uang beredar, kebijakan deregulasi 1 Juni 1983 ini telah
mengubah mekanisme dan piranti pengendalian moneter. Pemerintah tidak lagi
melakukan intervensi langsung dalam mengendalikan kebijakan moneter. Untuk
keperluan operasi pasar terbuka (open market operation), sejak bulan Februari 1984
Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dan menyediakan fasilitas diskonto.


SBI merupakan instrumen moneter tidak langsung yang diadakan untuk menyedot
kelebihan uang beredar di masyarakat jika kondisi moneter terlalu ekspansif. Perbankan dapat memanfaatkan kelebihan likuiditas yang dimiliki dengan membeli
SBI jika dana tersebut tidak dipinjamkan ke masyarakat. Sebaliknya, untuk
menambah uang beredar (ekspansi), sejak tanggal 1 Februari 1985, Bank Indonesia
menerbitkan pula instrumen OPT baru berupa Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Untuk tahap awal, jenis SBPU yang diperdagangkan terbatas pada surat sanggup
(aksep/promes) dan wesel. Instrumen ini digunakan dalam rangka pelaksanaan
pemberian kredit dan pinjaman antar bank.


Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1984 cukup meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Tetapi inflasi terus melaju cukup tinggi akibat devaluasi
rupiah dan naiknya harga BBM pada awal tahun 1984. Pada saat itu, beberapa bank
tertentu bergantung pada dana Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sehingga BI
bermaksud mengurangi ketergantungan bank-bank terhadap PUAB dengan
menetapkan batas maksimum bank untuk memperoleh dana di PUAB serta
menyediakan Fasilitas Kredit Khusus (FKK) dengan jangka waktu satu tahun.
Merosotnya harga minyak internasional sampai USD 10 per barel pada bulan Agustus
1986, menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia semakin membengkak.
Pasalnya, ekonomi Indonesia sangat bergantung pada ekspor minyak. Untuk
menghindari kondisi yang semakin buruk, pada tanggal 12 September 1986,
pemerintah kembali melakukan tindakan devaluasi rupiah terhadap dollar Amerika
sebesar 31%. USD 1 yang semula Rp 1.134, disesuaikan menjadi Rp 1.644. Selain
itu, untuk mendorong pemasukan modal dan dana dari luar, pemerintah menghapus
ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia.

Setelah beberapa kali devaluasi itu dilakukan, terlihat peningkatan yang cukup
berarti pada penerimaan ekspor, khususnya dari sektor non migas. Namun, pada
periode-periode berikutnya, penerimaan ekspor menurun akibat tidak realistisnya
nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Di lain pihak, masyarakat sudah trauma
terhadap kebijakan devaluasi yang terus dilakukan pemerintah. Hal ini dapat
menimbulkan ketidakpercayaan pasar.

Untuk menghindari ekspektasi negatif masyarakat, sejak tahun 1986 pemerintah
menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang (managed floating exchange rate).
Dengan sistem ini, nilai tukar rupiah diambangkan terhadap beberapa mata uang
negara mitra dagang utama Indonesia. Pemerintah menetapkan kurs indikasi dan
membiarkan kurs bergerak di pasar dengan kisaran (spread) tertentu, sedangkan
untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi ketika
kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah yang ditetapkan.

Pada tahun 1987, perekonomian Indonesia masih menghadapi kesulitan. Pengaruh
pasar minyak yang belum menentu memberi kontribusi cukup besar bagi
peningkatan defisit neraca pembayaran dan penerimaan pemerintah. Kondisi ini
dipersulit oleh semakin turunnya harga berbagai komoditi ekspor tradisional
Indonesia di pasaran. Sementara itu, terjadi spekulasi di pasar valuta asing pada
awal tahun 1987/1988 yang cukup mengganggu stabilitas moneter.

Menghadapi kondisi sulit ini, pada bulan Juni 1987, pemerintah bersama Bank
Indonesia melakukan pengetatan moneter yang biasa dikenal dengan Gebrakan
Sumarlin I. Suku bunga SBI, fasilitas diskonto, dan tingkat rediskonto (gadai ulang)
SBPU dinaikkan. Sebaliknya, pagu SBPU secara bertahap diturunkan. Pemerintah
juga menginstruksikan pengalihan dana milik beberapa badan usaha milik negara (BUMN) pada perbankan untuk ditempatkan pada SBI. Tindakan yang dikenal
dengan Gebrakan Sumarlin I ini - karena dilakukan oleh Menteri Keuangan adinterim
Sumarlin - mengakibatkan terjadinya kontraksi moneter secara drastis.

Selanjutnya dalam Pelita V perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan
yang membaik dengan angka pertumbuhan 5,7% dalam 1988 yang melebihi target
rata-rata pertumbuhan 5%. Untuk menjaga kelangsungan pembangunan selain dari
sumber penghasilan minyak, maka dirasakan perlu digali sumber dana dari dalam
negeri dengan meningkatkan ekspor non-migas. Guna mendukung hal itu,
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi di Bidang Moneter, Keuangan
dan Perbankan pada 27 Oktober 1988 (Pakto 1988). Sebagai kelanjutan dari Pakto
1988 dikeluarkan kebijakan Paket Maret 1989 dan Paket Januari 1990 guna
mendukung pengendalian inflasi dan memperkuat struktur perkreditan. Kebebasan
yang diberikan oleh Pakto 1988 telah menyebabkan ekspansi kredit perbankan yang
berlebihan dan kurang selektif. Untuk menahan situasi tersebut pada Maret 1991
pemerintah mengambil langkah Pengetatan Moneter II yang dikenal dengan
Gebrakan Sumarlin II. Pengetatan moneter pada 1987 dan 1991 mengekang laju
inflasi hingga secara berangsur turun menjadi 4,9% pada 1992. Tetapi suku bunga
deposito naik menjadi rata-rata 27% per tahun dan menyebabkan cost of fund
perbankan dalam negeri menjadi mahal, sehingga banyak pengusaha dalam negeri
mencari dana ke luar negeri yang relatif lebih murah. Untuk mengatasi beban Debt
Service Ratio (DSR) akibat meningkatnya pinjaman komersial tersebut dilakukan
pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN)
dengan BI sebagai koordinator. Namun demikian penerimaan PKLN dapat
mempengaruhi stabilitas moneter sehingga pada 20 Nopember 1991 diambil
kebijakan dalam ketentuan Posisi Devisa Netto, penyempurnaan fasilitas swap dan
pemberian kredit dalam valuta asing.

Pada 1995/1996 kegiatan investasi dan konsumsi di Indonesia semakin marak
sehingga menyebabkan kenaikan pertumbuhan pada beberapa sektor ekonomi
(konstruksi dan industri). Peningkatan itu diikuti dengan memanasnya suhu
perekonomian yang tercermin dalam laju inflasi yang mencapai 8,9%. Untuk
menghadapi hal tersebut, Bank Indonesia segera mengambil beberapa langkah
pengendalian moneter. Di bidang perkreditan diberlakukan pembatasan pemberian
kredit dan pemenuhan SPBU-KUK bagi bank-bank. Sedangkan di bidang devisa,
digariskan kebijakan untuk menahan dampak negatif arus modal jangka pendek.
Sementara guna memenuhi meningkatnya permintaan domestik serta meningkatkan
ekspor non migas, pemerintah bersama Bank Indonesia mengambil langkah-langkah
melalui Deregulasi Juni 1996 yang meliputi peningkatan efisiensi sektor produksi dan
peningkatan ekspor non migas dan pengamanan dalam pinjaman luar negeri.
Akhirnya secara umum pada periode deregulasi ini pinjaman luar negeri sektor
swasta terus meningkat. Sehingga pada Juli 1996 Bank Indonesia menerbitkan
Yankee Bond, untuk menciptakan benchmarking yang dapat membantu memperoleh
syarat pinjaman luar negeri yang lebih lunak. Dengan langkah tersebut beban
pembayaran dan resiko dari pinjaman dapat dikurangi.

Merujuk pada Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar